Upacara Mawinten bermakna pembersihan
diri secara lahir batin, secara lahir, diri dibersihkan atau dimandikan dengan
air yang telah disatukan dengan berbagai aneka bunga/kembang, sedangkan secara
batin, memohon kepada Hyang Widhi Tuhan (Yang Maha Esa) agar dapat diberikan
penyucian diri, tuntunan dan bimbingan dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang
bersifat suci seperti kesusilaan, kitab Weda, susastra weda, lalu selanjutnya
dapat diamalkan dan dijalankan dalam kehidupan diri sendiri maupun kepada orang
lain yang memerlukannya.
Mawinten berasal dari bahasa jawa kuno,
mawa arti nya bersinar dan inten arti nya intan (permata) berwarna putih/suci
kemilau/bersinar dan mempunyai sifat mulia, bila diuraikan mempunyai pengertian,
dengan upacara Mawinten ini orang yang melaksanakannya secara lahir batin akan
suci, berkilau dan bersinar bagaikan
permata juga dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Umat Hindu di Bali meyakini, wajib
hukumnya melaksanakan upacara Mawinten ini yang berguna untuk penyucian diri
secara lahir batin dan sarat dengan nilai nilai kerohanian yang tinggi dan
mendalam. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja. Dalam Mawinten
ada 3 tingkatan upacara dan itu tergantung dari keadaan orang yang akan
menjalankannya :
- Mawinten dengan ayaban saraswati sederhana adalah upacara pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan, yang melaksankannya pawintenan ini, yang baru belajar agama, pegawai kantor agama, dll.
- Mawinten dengan ayaban bebangkit upacara medium adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bethara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia, yang melaksankannya pawintenan ini para tukang, sangging, tukang banten, dll.
- Mawinten dengan ayaban catur upacara utama adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang melaksankannya pawintenan ini para pemangku, dalang, pendeta, dll.
Pada umumnya pelaksanakan upacara
Mawinten ini, di lakukan saat menjelang upacara Penyineban atau hari penutupan
Piodalan (ulang tahun pura) yang disebut dengan Nyurud Hayu. Nyurud artinya
memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi nyurud hayu adalah memohon
keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur.
Upacara Mawinten ini bisa juga
dilaksanakan pada saat bulan purnama, dengan maksud agar pembersihan dan
penyucian terhadap dirinya benar benar bersih serta terang benderang dan
berkilau seperti sinar bulan purnama
Tempat penyelenggaraan upacara Mawinten
ini umumnya di Pura. Prosepsi Mawinten untuk Pamangku, biasanya dilaksanakan
ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku, misalnya di Pura
Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan
Jagat atau di Sanggah atau Merajan. Adapun pemimpin upacara Mawinten adalah
seorang Pendeta. Di beberapa desa di Bali atau di luar Bali yang tidak mempunyai
pendeta, upacara Mawinten dapat dilaksanakan dengan cara memohon kehadapan
Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior, dan Mawinten ini disebut
Pawintenan ke Widhi.
Proses upacara Mawinten adalah sebagai
berikut :
- Upacara persiapan: diawali dengan pembersihan lahir seperti menyapu halaman pura, menata dengan baik alat-alat upacara pawintenan sesuai dengan tempatnya, memasang busana perlengkapan untuk palinggih yang akan dipakai menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, upacara penyucian palinggih dengan menghaturkan sesajen.
- Upacara menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, selanjutnya mempersembahkan upakara-upakaranya dengan tujuan mohon agar beliau berkenan menjadi saksi dalam penyelenggaraan upacara pawintenan tersebut, sehingga upacara berjalan tertib, aman dan lancar.
- 3. Upacara melukat yaitu pembersihan diri dari yang akan diwinten dengan sarana air kelapa muda (klungah) yang telah dijadikan Tirtha oleh pendeta/pinandita melalui doa, puja dan mantra weda. Selanjutnya dipercikkan ke ubun-ubun dan badan yang diwinten.
- Upacara mabyakala bertujuan memberikan pengorbanan suci kepada mahluk halus (bhutakala) agar tidak mengganggu jalannya upacara.
- Upacara Maprayascita adalah memohon kekuatan-kekuatan Tuhan/manifestasiNya agar yang diwinten dapat memiliki pandangan yang suci.
- Upacara pengukuhan (masakapan, padudusan, marajah) yaitu upacara penetapan sesuai dengan jenis profesi kepamangkuan yang ditekuni, ditandai dengan sarana penyucian asapnya api (dudus) dan menulisi organ tubuh yang diwinten dengan aksara-aksara suci.
- Upacara mejaya-jaya yaitu upacara yang bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik.
- Upacara sembahyang, bertujuan mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa mohon tuntunan dan bimbinganNya agar yang diwinten dapat menjalankan kewajibannya sesuai jenis dan tingkatan pawintenannya.
Upacara Mawinten adalah merupakan salah
satu kewajiban setiap umat Hindu dalam upaya mewujudkan kesejahteraan lahir
maupun kebahagiaan bathin (jagadhita dan moksa). Mengingat dari pandangan
filosofis upacara Mawinten sarat dengan nilai-nilai kerohanian, etika, moral
dan agama yang tinggi dan mendalam.
Dari rangkaian upacara Mawinten yang
disebutkan di atas, mempunyai makna sebagai berikut :
- Dengan menenangkan diri dan memusatkan pikiran, maka akan dapat lebih terarah untuk mulai mempelajari ilmu pengetahuan.
- Mengendalikan diri dan menuntun seseorang untuk berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan ajaran dharma.
- Merupakan tahapan atau jenjang dalam pendakian spiritual.
- Meningkatkan kebersihan dan kesucian diri pribadi.
- Pengabdian, pelayanan kepada Hyang Widhi Wasa dan masyarakat
Bagi mereka yang sudah melaksanakan
Mawinten diwajibkan melakukan brata, tapa, yoga, semedhi. Makin tinggi tingkat
Mawintennya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, semedhi-nya, dan mereka
harus rela melepaskan diri dari unsur ke duniawan.
Brata adalah pengekangan hawa nafsu panca
indra; Tapa adalah pengendalian diri agar selalu dalam jalur Dharma. Yoga
adalah senantiasa memuja kebesaran dan kemuliaan sang Pencipta ( tuhan Yang
Maha Esa ). Semedhi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri secara
total pada kemahakuasaan sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa).
Swadharma seorang ekajati wajib
melaksanakan dharma agama disertai dengan atribut yang dikenakan seorang
ekajati yaitu kain, kampuh, baju, destar putih, dan tatanan rambut, semuanya
disesuaikan dengan tingkatan Mawinten masing-masing. Mereka yang sudah Mawinten
tidak boleh Menyantap suguhan di tempat orang meninggal/ngaben, turut
memandikan layon/jenazah, termasuk
“cemer/cemar/kotor/tidak bersih ” .
Apabila seseorang yang sudah Mawinten
cemer, maka ia wajib mensucikan diri kembali dengan berbagai tingkatan cara
sesuai dengan tingkat kecemerannya.
Misalnya jika hanya menyantap makanan di
tempat orang berhalangan kematian, cukup dengan meprayascita saja; jika sampai
mengambil/ memegang jenazah wajib mengulangi upacara Mawintennya yang dinamakan
upacara “masepuh
Dari pemaparan diatas dapat ditarik
kesimpulan bila kita ingin melakukan perbuatan baik hendaklah dengan hati yang
bersih dan juga pikiran yang bersih , maka akan terlaksana dengan apa yang kita
harapakan.